Potret Kebingungan Investasi IT

19.31 / Diposting oleh Adityawarman /

Banyak top executive bingung, lantaran investasi IT perusahaannya yang
berbujet besar tak memenuhi harapan. Padahal, ketidakpedulian mereka
salah satu pangkal masalahnya. Survei SWA juga menangkap kondisi ini.

Joko Sugiarsono

Belum lama ini, seorang praktisi dan pengamat bisnis teknologi informasi
(TI) kepada SWA menceritakan dua kekonyolan mahal yang kebetulan dilihat
dengan mata kepalanya sendiri. Tentu, kekonyolan yang dimaksud ada
kaitannya dengan bidang yang dia tekuni: dunia TI. Dan, "mahal" dalam pengertian
yang sebenarnya, yakni menghabiskan duit yang tak sedikit (tapi tak jelas
juntrungannya).

Kekonyolan pertama, seperti diceritakannya, seorang konglomerat muka
lama yang belum lama menjadi pemilik mayoritas satu stasiun TV lokal,
membanggakan padanya bahwa stasiunnya baru saja membeli software
aplikasi canggih berikut hardware pendukungnya. Kesemua perangkat itu, kata sang
konglomerat, siap diimplementasi. Namun, begitu ditanya, untuk membantu
proses bisnis apa saja semua perangkat TI tadi, sang konglomerat hanya
mengangkat bahu, dan mengatakan bahwa orang TI-nya datang membawa
gambaran skematis perangkat TI tadi. Konon, cerita sang pengamat, lantaran
setelah dikonfirmasi tidak jelas pemanfaatannya, implementasinya pun ditunda.
Bagaimana kabar perangkat-perangkat berharga US$ jutaan itu? Terpaksa
disimpan saja.

Cerita kekonyolan kedua terkait dengan bersemangatnya beberapa Pemda
Dati II di Kalimantan mengimplementasi e-government. Nah, si pengamat
menceritakan, ada satu Pemda Kabupaten yang sejak beberapa waktu lalu sudah menginstal e-government tergolong lengkap, tapi ternyata tak banyak staf Pemda yang
memanfaatkannya. Alhasil, proses tradisional dalam mengurus kebutuhan
penduduk kembali terulang, dan selama beberapa waktu sistem yang sudah
dibangun dengan investasi miliaran rupiah itu menganggur. Usut punya
usut,ternyata banyak staf Pemda tadi yang masih gatek (gagap teknologi),
termasuk menggunakan PC. Untungnya, sang bupati punya inisiatif cukup pas: mulai
tahun 2003 tak ada pembelian software-hardware baru, karena anggarannya
untuk melatih para staf menggunakan sistem e-gov yang sudah dipasang.

Meski contoh kekonyolan seperti di atas luar biasa, nasib mereka masih
beruntung dibanding e-tailer (peritel online) lokal besar yang terpaksa
tutup di tahun pertama operasionalnya pada 2001, lantaran gagal
merespons pasar. Padahal, sekitar 60% investasi awalnya yang Rp 100-an miliar
dialokasikan untuk membangun infrastruktur yang tangguh, mulai dari
sistem call center, TI korporat (semisal supply chain management) dengan sistem
informasi yang dikatakan real time, hingga gudang seluas ribuan m2 yang
mampu menampung belasan ribu macam barang. Toh, semua itu bukan menjamin
tak ada lagi masalah keterlambatan informasi maupun barang. Yang lebih
parah, setelah mampu menarik ratusan ribu pelanggan di Jabotabek, e-tailer
tersebut malah tak mampu menangani hujan pesanan sekitar 8 ribu order/hari.
Contohnya, kalau ada order berbagai macam barang, sering yang dikirimkan
ternyata berbeda dari yang dipesan.

Potret kebingungan semacam itu ternyata juga terjadi di industri yang
sarat teknologi, dan kini tergolong masih berjaya, misalnya bisnis operator
seluler. Sumber SWA yang mantan konsultan senior top mengungkapkan
betapa bingungnya beberapa operator seluler nasional mencari sistem billing
(penagihan) berbasis TI yang pas, sehingga terpaksa gonta-ganti. Bisa
kita perkirakan, berapa ratus juta bahkan miliar rupiah yang terpaksa
dikorbankan.

Kendati begitu, kalau mau berbesar hati, perusahaan kelas dunia macam
Ford Motor Company yang punya sistem knowledge management (KM) berbasis TI
dengan investasi US$ miliaran, juga tak selalu merasakan manisnya manfaat
sistem ini. Bahkan, pengorbanannya adalah putusnya hubungan bisnis 100 tahun
dengan Firestone, perusahaan yang sebelumnya memasok ban untuknya. Penyebabnya,
kata pihak Ford, produk ban cacat yang dihasilkan Firestone dan dipakai
pada mobil SUV Ford Explorer telah mengakibatkan kecelakaan yang memakan
100-an korban tewas di Amerika Serkat. Semestinya, dengan KM yang terkenal
canggih -- bernama Ford`s Best Practices Replication Process -- dan terbukti
bermanfaat untuk hal-hal lainnya, Ford bisa mendeteksi sejak dini.
Analis menilai kasus mismatch ini terjadi, lantaran antara Ford dan Firestone
tak terjalin komunikasi yang intens, sehingga kecanggihan KM tak banyak
berarti.

Sebenarnya, buah manis TI bisa dinikmati cukup banyak perusahaan.
Nama-nama besar di dunia sudah merasakannya, misalnya Merrill Lynch (ML), Boeing,
Nestle, Visa, Nordea, dan sebagainya (seperti sudah pernah disajikan di
SWA). Ambil contoh ML. Perusahaan sekuritas besar ini hampir kolaps
diterjang broker-broker online yang muncul di penghujung 1990-an,
lantaran para pendatang ini berani memberikan fasilitas quote gratis dan fee
transaksi yang rendah. Alih-alih menjauhi Internet, ML malah membangun
fasilitas online trading -- yang kemudian diintegrasikan ke portal
mlx.com -- dengan fee rendah, plus hasil riset mutakhir. Alhasil, ML berhasil
menarik para pelanggan lamanya, memulihkan harga sahamnya dan melibas
banyak pesaing barunya tadi.

Contoh lainnya Nordea, yang kini dikenal sebagai maharaja e-banking
sejagat. Dengan investasi hanya US$ 18 juta untuk divisi e-banking-nya, Nordea
mampu menghimpun transaksi e-banking bulanan hingga 7 juta transaksi, atau 14
kali yang dicapai Internet bank murni Egg, pesaingnya dari Inggris. Padahal,
untuk membesarkan Egg, butuh investasi hingga US$ 650 juta.

Sumber : Swa

0 komentar:

Posting Komentar